BIOGRAFI : SITI AISYAH WE TENRI OLLE SANG RATU CENDEKIA BARRU BAGIAN 2

SITI AISYAH WE TENRI OLLE


Sekolah Rakyat (volkschool) untuk semua kalangan
Dari pendalaman tentang sastra dan intensitas pergaulannya dengan BF Matthes dan Ida Pfeiffer, Tenri Olla kemudian memikirkan langkah strategis untuk memajukan bangsa Tanete melalui pendidikan. Akan tetapi, berbeda dengan BF Matthes yang mendirikan sekolah khusus untuk laki-laki, bangsawan, dan kaum kaya, We Tenri Olla justru mendirikan sekolah rakyat yang terbuka untuk semua kalangan pada 1890 atau 1908. Ia memberikan akses seluas-luasnya untuk masyarakat bawah agar dapat mengikuti pendidikan tanpa diskriminasi ekonomi, sosial, atau gender.

Model sekolah rakyat ini, atau yang juga dikenal sebagai sekolah desa (volkschool), merupakan inisiatif We Tenri Olla dan menjadi yang pertama di jazirah Sulawesi Selatan kala itu. Ia lahir dari ide kreatif Kerajaan Tanete tanpa bantuan dari pemerintahan kolonial Belanda kala itu. Belakangan, model sekolah rakyat ini diadopsi oleh daerah lainnya di Sulawesi Selatan hingga ke Wajo, Bone, dan Makassar. Di Makassar, model sekolah ini disebut “Sekolah Melayu” sebagaimana dituliskan oleh FB Matthes dalam bukunya.

Karena keterbatasan publikasi, model sekolah yang dirintis oleh We Tenri Olla ini tidak banyak ditemukan deskripsinya dalam banyak literatur. Kemungkinan, mengingat cakupannya yang menyeluruh ke seluruh kalangan, mata pelajaran yang diberikan adalah membaca dan berhitung. Dua mata ajaran standar yang dipakai untuk mengasah kemampuan dasar masyarakat Tanete kala itu.
Kala itu, ide sekolah rakyat untuk semua kalangan tanpa diskriminasi ini sungguh luar biasa dan melampaui zamannya. Bahkan jauh mendahului RA Kartini dan Dewi Sartika, dimana nama yang pertama dibuat lebih dikenal dalam kepeloporan pendidikannya di Indonesia.

Selanjutnya, setelah We Tenri Olle mundur dari singgasana Kerajaan Tanete pada 1910, praktis tidak ada kronik yang menceritakan keberlanjutan tahta Tanete di masa berikutnya. Hal ini mungkin dikarenakan Tanete lambat laun dimasukkan dalam daerah administratif Onder Afdelling Barru yang bernaung dibawah Afdelling Parepare. Onder Afdelling Barru yang kini menjadi Kabupaten Barru merupakan gabungan kerajaan-kerajaan kecil: Berru (Barru), Tanete, Soppeng Riaja dan Mallusetasi.

Perempuan Bugis
Dalam tradisi Bugis, sudah sejak lama peran perempuan memang tak hanya dijadikan simbol kejelitaan atau pengasuh rumah tangga bagi suami dan anak-anaknya. Perempuan Bugis merupakan pihak yang turut mendominasi pranata sosial-budaya dan politik di kerajaan-kerajaan Bugis, jauh sejak masa epos La Galigo mula dikisahkan.

Nenek moyang Bugis, yang disebut Tomanurung, dikisahkan tidak saja hanya seorang lelaki bernama Batara Guru, tetapi juga disandingkan dengan personifikasi perempuan jelita bernama We Nyilik Timo, permaisurinya. We Nyilik Timo juga dipercaya sangat berperan melahirkan gagasan-gagasan besar tentang pondasi bangunan kebudayaan Bugis awal.

Sejak lama, negara-negara Bugis dikenal sangat egaliter dan demokratis. Pada masa-masa awal pemerintahannya, pemilihan raja didasarkan pada kecakapan individual dan kolektif dengan mendudukkan faktor garis keturunan kebangsawanan di urutan ke sekian. 

Maccai na malempu, waraniwi na magetteng, demikian peribahasa masyarakat Bugis yang artinya adalah ‘cendekia lagi jujur, berani lagi teguh pendirian’. Bagi masyarakat Bugis, pemimpin yang baik adalah pemimpin yang cendekia, jujur, berani, dan teguh pada pendirian yang benar.

Sejumlah pemimpin pada kenyataannya memang muncul dari kalangan jelata. Sebut saja I Sangkilang di Gowa akhir abad 18, atau beberapa Arung Matoa Wajo yang dipilih dari pemimpin-pemimpin kampung. Ada pameo yang terpatri dalam benak orang Bugis bahwa pada dasarnya raja adalah rakyat jelata juga. Mereka naik ke tahta pimpinan hanya karena kualitas kemanusiaannya melebihi yang lain.

Egalitarianisme Bugis juga diterapkan dalam kesetaraan gender. Tidak saja dalam pranata sosial keseharian, kaum perempuan Bugis pun ditempatkan di tataran yang setara dengan kaum lelaki, bahkan dalam sistem politik. Kronik beberapa kerajaan Bugis semisal Luwu, Bone, Tanete, Soppeng, dan Wajo, beberapa kali mencatatkan raja dari kalangan perempuan. Perempuan Bugis yang menjadi raja di kerajaannya tidak saja hanya penghias silsilah saja (lontarak), tapi juga berkontribusi aktif untuk kemajuan rakyatnya.

Dalam buku “History Of Java” (1817), Thomas Stanford Raffles mencatat kesan kagum akan peran perempuan Bugis dalam masyarakatnya.

“The women are held in more esteem than could be expected from the state of civilization in general, and undergo none of those severe hardships, privations or labours that restrict fecundity in other parts of the world” (Raffles, History Of Java, Appendix F, “Celebes”: halaman lxxxvi).

[Perempuan Bugis Makassar menempati posisi yang lebih terhormat daripada yang disangkakan, mereka tidak mengalami tindakan kekerasan, pelanggaran hak pribadi atau dipekerjakan paksa sehingga membatasi aktifitas/kesuburan mereka, dibanding yang dialami kaumnya di belahan dunia lain].

Tak hanya dihargai pendapatnya, terkadang beberapa perempuan Bugis terpilih menjadi penguasa di kerajaannya masing-masing. Kesetaraan hak politik perempuan ini diterima secara sadar dan bertanggung-jawab hampir di semua wilayah Bugis.

Selain Wa Tenri Olle, kronik raja-raja Bugis mencatat beberapa perempuan Bugis yang pernah memerintah di masing-masing wilayah. Di antaranya adalah We Tenri Rawe (Raja/Pajunge ri Luwu, abad 14), Adatuang We Abeng (1634, Ratu Sidenreng), Datu Pattiro We Tenrisoloreng (1640-Bone), We Batari Toja Daeng Tallang (1724-Bone), Adatuang Adi We Rakkia Karaeng Kanjenne (1700-an, Sidenreng), Soledatu We Ada (Ratu Soppeng, istri Arung Palakka, 1670), We Maniratu Arung Datak (1840-Bone), Besse Kajuara (1860-Bone), Andi Ninong dan Petta Ballasari (Ranreng Matoa Wajo, abad 20), Andi Depu, Datu Balanipa Mandar, Andi Pancaetana (1915, penguasa Enrekang).

Ada dua nama yang kemudian tercatat sebagai perempuan yang gencar melakukan perlawanan bersenjata terhadap kolonial Belanda di masanya. Dua perempuan itu adalah Besse Kajuara We Tenriawaru dan We Maniratu Arung Datak.

Senyap di Lintas Sejarah
Siti Aisyah We Tenri Olle memang bukanlah seorang selebritas di lintas sejarah Indonesia. Namanya hanya dikutip sesekali, terutama bagi yang hendak meneliti mengenai sejarah penulisan La Galigo. Kisah hidupnya senyap tanpa banyak mengundang kekaguman dalam bentuk tulisan-tulisan yang tersebar di buku sejarah. Bahkan, namanya pun tak begitu dikenal di masyarakat Bugis saat ini, yang lebih banyak didominasi oleh nama-nama pahlawan perang macam Sultan Hasanuddin atau Arung Palakka.

Di daerahnya, di Pancana Tanete ri Lau, Kabupaten Barru kini, nama Wa Tenri Olle hanya dikenal dari sebentuk bangunan makam megah berwarna putih berbentuk kubah berciri arsitektur Eropa. Tak banyak yang tahu detail kisah hidupnya selain bahwa perempuan cerdas ini pernah menjadi Penguasa Tanete di akhir abad 19.

Namanya jauh dari sentuhan literatur. Bahkan, dalam penelusuran mesin pencari di internet, hanya ditemukan 167 tautan untuk kata kunci “We Tenri Olle Tanete”, jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan RA Kartini yang memuat 1.080.000 tautan dan Dewi Sartika dengan 2.100.000 tautan. Ironisnya, tak ada yang bisa menjejak tahun kelahiran perempuan besar ini. 

Padahal, seperti telah diterangkan di atas, kontribusi aktif We Tenri Olle memajukan pendidikan jauh lebih mula dan lebih luas daripada dua orang di Pulau Jawa itu. Dengan inisiatif dan dana sendiri, perempuan Bugis ini mendudukkan laki-laki dan perempuan di bangku pendidikan yang sama, menerima pengajaran yang sama. Ia memaknai emansipasi dalam bentuk hakiki tanpa merasa jengah dengan pembedaan jenis kelamin.

Perihal RA Kartini, sosoknya yang dimitoskan oleh Indonesia pada gilirannya memang disangsikan oleh banyak kalangan. Di antaranya adalah sosiolog Universitas Indonesia, Profesor Harsja Bachtiar, yang mempertanyakan pengkultusan perempuan Jawa itu dalam sejarah Indonesia. Sementara, di belahan “Indonesia” lain, ada sosok seperti We Tenri Olle yang justru lebih berhasil dan lebih bergaung ke masyarakat banyak.

Satu-satunya cacat seorang Wa Tenri Olle, jika kita menyepakati hal ini sebagai cacat sembari melenyapkan pertimbangan-pertimbangan politis-strategis masa itu, adalah sikapnya yang kooperatif dengan pemerintah kolonial Belanda. Ia bahkan mendapat penghargaan dari Belanda atas sikap netralnya dalam perang Belanda melawan raja-raja Bugis di Pare-Pare pada 1905.

Faktor lain yang barangkali turut membuat namanya senyap adalah tidak adanya karya tulis yang ia hasilkan sendiri.

Meski demikian, namanya tetap tak bisa digeser kala siapapun mencari jejak kepahlawanan yang pernah di lahirkan di bumi yang kini bernama Indonesia. Siti Aisyah We Tenri Olle tetaplah seorang perempuan serba bisa, penguasa Tanete lebih dari separuh abad, pemula pendirian sekolah modern di Tanete, dan penggali sastra klasik La Galigo.

Sumber:
www*.melayuonline.com
www*.id.wikipedia.org
www*.sejarah.kompasiana.com
www*.budaya-sulsel.com
www*.majalahversi.com

0 komentar:

Posting Komentar