BIOGRAFI : SITI AISYAH WE TENRI OLLE SANG RATU CENDEKIA BARRU BAGIAN 1
![]() |
| SITI AISYAH WE TENRI OLLE |
Di negara yang mendefinisikan pahlawan sebagai pejuang anti-Belanda, maka tidak akan ada tempat bagi anak negeri yang melakukan perjuangan di kutub berbeda. Betapapun heroik tindakan yang sudah dilakukan, tapi definisi kepahlawanan di kemudian hari membuatnya lenyap.
Siti Aisyah We Tenri Olle adalah satu diantara sekian banyak raja perempuan Bugis yang narasi tentang dirinya senyap di lintasan sejarah. Ia adalah Raja Tanete, putri kedua dari La Tunampare’ To Apatorang Arung Ujung. Masa kekuasaan We Tenri Olle terbilang cukup lama, 55 tahun, yakni sejak 1855 hingga 1910.
Di tangan We Tenri Olle inilah popularitas Tanete melesat melintasi samudera dan benua hingga ke Eropa. Ia berkontribusi dengan menerjemahkan mahakarya epos La Galigo dari bahasa Bugis Kuno ke bahasa Bugis umum. Terjemahan ini kemudian dimanfaatkan oleh seorang peneliti Belanda, BF Matthes, untuk diadopsi menjadi tulisan ilmiah yang akan diceritakan kemudian.
Akan tetapi, kontribusinya tak hanya ihwal La Galigo. Ia jugalah yang pertama kali membuka sekolah untuk seluruh kalangan tanpa diskriminasi, entah itu kelas sosial maupun gender.
Masa remaja We Tenri Olle dihabiskan di istana Sultan Tanete yang saat itu diperintah oleh kakeknya dari pihak ibu: Raja Tanete La Rumpang Megga Matinroe ri Mutiara. Pada 1853, perempuan cerdas ini menemukan bintang terangnya kala berinteraksi dengan dua peneliti asal Eropa, BF Matthes dari Belanda dan Ida Pfeiffer asal Austria.
BF Matthes, yang juga mendirikan sekolah di Tanete untuk kaum laki-laki terpandang pada 1876, adalah peneliti asal Belanda yang menggali sastra klasik Bugis, I La Galigo. Sedangkan Ida Pfeiffer adalah perempuan petualang asal Austria yang sempat singgah di Kerajaan Tanete dalam perjalanannya keliling dunia. Interaksi antara Matthes, Pfeiffer dan We Tenri Olla membuka cakrawala wawasan dirinya kala muda untuk berpikiran maju melampaui zamannya.
Saat naik tahta, We Tenri Olle sejatinya harus menghadapi banyak pertentangan, bahkan dari ibundanya sendiri, Collipujie Arung Pancana Toa Datu Tanate. Sang ibunda lebih menghendaki La Makkawaru, kakak lelaki sulung Tenri Olle, untuk naik tahta. Tetapi, intervensi kakeknya, La Rumpang, ayah Collipujie yang juga Raja Tanete kala itu, membuat penentangan ibundanya mereda. Apalagi, perilaku keseharian La Makkawaru yang disebutkan gemar berjudi dan meminum minuman keras membuatnya tersingkir dari tahta kekuasaan Tanete. Perilaku demikian bertolak belakang dengan Tenri Olle yang terkenal cerdas, terpelajar, serta meminati sastra Bugis dan Islam.
We Tenri Olle menikah dengan Arung Bakka Soppeng, bernama La Sandji Unru, dan melahirkan tiga putri: We Pancaiktana Bunga Walie, I Pateka Tana, I Hawang, dan seorang putra, La Sangaji Unru, yang kelak meneruskan tahta ayahandanya sebagai Raja Bakka di Soppeng. Kedekatan antar raja-raja di daerah Bugis memungkinkan mereka saling kawin untuk mempertahankan kekerabatan dan stabilitas wilayah.
Kerajaan Tanete yang dipimpin oleh We Tenri Olle merupakan kerajaan otonom kecil. Luasnya 61.180 hektar dengan jumlah penduduk, pada saat itu, 13.362 jiwa. Kerajaan kecil ini dipersatukan dari empat wilayah: Tanete ri Tennga, Tanete ri Lauq, Tanete ri Aja, dan Gattarang.
Sebagaimana daerah lain di Sulawesi Selatan, mata pencaharian penduduk Tanete adalah bertani dan nelayan. Saat ini, di zaman modern, bekas wilayah Kerajaan Tanete dimasukkan sebagai salah satu wilayah administratif kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
Saat memerintah, We Tenri Olle berusaha mempertahankan pola patron-klien dengan penjajah Belanda untuk menjaga keberlangsungan kehidupan masyarakat Tanete. Meski menyadari betapa terhinanya hidup dalam kungkungan penjajahan formal, namun Ratu Tanete ini merasa kestabilan kerajaan jauh lebih dibutuhkan. Tak ada guna mengobarkan perlawanan bersenjata. Apalagi, kokohnya kekuatan militer Belanda saat itu tak memungkinkan untuk ditaklukkan. Ia merasakan betapa sulitnya Tanete ketika rajanya, La Patau, ditangkap dan diasingkan oleh Belanda karena perlawanan fisik yang La Patau gencarkan pada 1840.
Sebagaimana kakeknya, La Rumpang, We Tenri Olle lebih memilih untuk bersikap kooperatif dengan Belanda seraya berusaha mengambil banyak manfaat dari hubungan baik itu untuk berkonsentrasi pada kesejahteraan, pendidikan, dan pelestarian kebudayaan Bugis. Sikap politik yang diambilnya inilah yang kelak merugikan reputasinya.
Tak heran, barangkali, kronik hidup penguasa Tanete yang juga peminat sastra dan pemerhati pendidikan ini tak selengkap kronik penguasa lokal yang lain. Setidaknya, dalam penelusuran di berbagai literatur, tahun kelahiran perempuan cerdas asal Tanete ini tidak pernah disebutkan. Keterangan hanya ada pada tahun wafatnya, yakni 1919, di desa Pancana Tanete ri Lau, yang juga kampung kelahirannya.
Kecerdasan We Tenri Olle ada pada kepiawaiannya melakukan reformasi pemerintahan. Saat ia naik tahta, keadaan Tanete penuh dengan konflik vertikal antar penguasa-penguasa lokal di bawah kekuasaannya. Terkadang, pemimpin bawahan (matoa dan arung) melakukan pembangkangan atas perintah pemimpin atasnya (datu). Ketika We Tenri Olle menjadi kepala negara, Kerajaan Tanete terdiri dari tiga belas banua daerah persekutuan hukum (distrik), yang masing-masing berdiri sendiri di bawah pemerintahan seorang kepala pemerintah, dan beberapa wilayah (palili) atau daerah vasal.
Untuk menjaga kewibawaan dan efektifitas pemerintahan, We Tenri Olle kemudian melakukan perampingan pemerintahan dengan menghapus beberapa struktur lokal dan hanya menyisakan empat palili, yaitu: Tanete ri Tennga, Tanete ri Lauq, Tanete ri Aja, dan Gattarang.
We Tenri Olle memerintah kedatuan Tanete dengan kondisi politik dan ekonomi yang stabil selama lebih dari separuh abad, 55 tahun. Mungkin, beliaulah pemimpin kerajaan yang paling lama memerintah di kawasan yang kini disebut Indonesia. Masa pemerintahannya ini dimanfaatkan dengan baik oleh We Tenri Olle untuk berkonsentrasi pada dua hal yang sangat menarik minatnya: pendidikan dan kesusastraan, di saat perlawanan raja-raja Bugis meriuh pada 1905.
Menemukan Kembali Epos Lagaligo
Lamanya masa pemerintahan We Tenri Olle memungkinkan dirinya untuk berbuat lebih banyak untuk bangsanya, terutama dalam pendidikan dan penggalian sastra klasik La Galigo. Dengan diinisiasi oleh BF Matthes, peneliti Belanda yang diutus oleh Nederlandsch Bijbelgenootschaap, sebuah lembaga peneliti kitab-kitab kuno, dan Collipujie, sang ibunda, ia kemudian mengumpulkan manuskrip-manuskrip La Galigo yang terserak dalam bentuk daun-daun lontar dan dikeramatkan oleh banyak kalangan Bugis.
Kekeramatannya dipicu oleh anggapan masyarakat Bugis saat itu bahwa cerita La Galigo bukan saja hanya sekedar epos, tetapi juga merupakan petuah leluhur (to Riolo) yang mengandung samudera hikmah kehidupan dan karenanya layak dikultuskan. Belum lagi ketinggian bahasa perumpamaan yang tersirat di antara larik-larik aksara Bugis Kuno yang hanya segelintir orang mampu menggali maknanya.
Di banyak tempat, manuskrip yang juga biasa disebut lontarak ini disimpan secara khusus, yakni di dalam kain putih dan diberi dupa-dupa. Dibutuhkan upacara ritual yang sakral untuk membukanya, dengan dipimpin oleh dukun atau seorang Bissu, manusia transgender yang dipercaya memiliki kemampuan magis dalam berhubungan dengan dewata. Selain itu, tak banyak orang Bugis yang mampu memahami bahasa asli La Galigo, yang merupakan bahasa Bugis kuno.
Kemampuan We Tenri Olla membaca dan memahami bahasa Bugis Kuno dalam bait-bait sajak epos La Galigo, yang tersusun dalam 300.000 larik cerita berangkai, membuat pekerjaan BF Matthes menjadi lebih mudah. Dibantu oleh dua perempuan ibu dan anak ini, BF Matthes kemudian menerbitkan transliterasi La Galigo dalam aksara Bugis dan terjemahan bahasa Belandanya dalam buku Boeginesche Chrestomathie Jilid II tahun 1872. Karya terjemahan ini kemudian disimpan di perpustakaan Universitas Leiden, Belanda, dan menjadi rujukan penelitian selanjutnya mengenai wiracarita terpanjang di dunia itu.
Menurut BF Matthes, peran We Tenri Olla dan ibunya, Collipujie, sangat signifikan dalam memperkenalkan epos La Galigo ini ke dunia luar. Tanpa peran keduanya, mungkin epos ini akan lama terpendam di dalam bilik-bilik senyap istana-istana raja-raja Bugis hingga keruntuhannya.
Meskipun demikian, upaya keras mereka hanya mampu membukukan sepertiga dari keseluruhan epos La Galigo. Kerja keras pengumpulan keseluruhan manuskrip ini masih berlangsung hingga kini. Ia berkembang berkat rintisan tiga orang yang layak dijadikan pahlawan pelestari karya sastra bugis ini.
Sumber:
www*.melayuonline.com
www*.id.wikipedia.org
www*.sejarah.kompasiana.com
www*.budaya-sulsel.com
www*.majalahversi.com

0 komentar:
Posting Komentar